Wednesday, November 14, 2007

PEDAGOGIES KAUM PINGGIRAN


Membicarakan ilmu-ilmu sosial transformatif kaitannya dengan perspektif pedagogis rasanya tidak mungkin mengabaikan kritik bahwa peran sekolah sebenarnya telah gagal mengantarkan anak didik sebagai subyek pembelajaran manusia atas keseluruhan proses hidup dan kehidupannya.


Membicarakan ilmu-ilmu sosial transformatif kaitannya dengan perspektif pedagogis rasanya tidak mungkin mengabaikan kritik bahwa peran sekolah sebenarnya telah gagal mengantarkan anak didik sebagai subyek pembelajaran manusia atas keseluruhan proses hidup dan kehidupannya.
Dalam antropologi pendidikan, proses semacam ini disebut sebagai inkulturasi dan akulturasi, yang menyangkut semua perkembangan anak manusia tatkala mereka melakukan adaptasi lingkungan dan bagaimana proses reproduksi kebudayaan berlangsung dalam masyarakat sesuai dengan tata nilai dan norma-norma yang mereka miliki.

Maksud saya, jika pedagogi dimaknai lebih dari sekadar mendeposit ilmu pengetahuan dalam sistem didaktik-metodik sekolah, sudah tentu pengertian tentang pembelajaran haruslah meliputi wilayah yang luas,
seluas persoalan cultural reproduction and reform dan sekaligus juga menyangkut social reform and transformation. Upaya pembelajaran anak manusia tidak bisa dilepaskan selain sebagai kerja budaya, juga
sebagai kerja politik agar mereka yang selama ini tertindas oleh budaya bisu dapat belajar bicara dan mereka yang terpinggirkan oleh struktur sosial mempunyai harapan untuk berubah sekaligus memiliki kekuatan sosial yang bisa menggerakkan humanisasi manusia yang lebih bermartabat dan berharkat.
Pedagogi transformatif

Dalam filosofi pedagogi transformatif, pembelajaran merupakan pembongkaran terhadap semua bentuk kesadaran budaya dalam rangka menumbuhkan kesadaran budaya yang baru. Kerja pedagogis tidak lain
adalah bentuk upaya memfasilitasi setiap subyek agar tumbuh dan berkembang sebagai human agency atau persona creativita, yang sadar akan habitus-nya masing-masing dan bagaimana mereka memiliki
kemampuan untuk mengubahnya sehingga subyek-subyek ini tidak mati dan menyerah terhadap jebakan struktural yang diwarisinya sejak lahir.
Sekarang ini praktik "pendidikan" yang identik dengan menyelenggarakan "sekolah", bahkan juga pendidikan "luar sekolah", biasanya mengabaikan bangunan konsep pedagogis yang utuh. Seolah-olah pembelajaran adalah sama halnya berhubungan dengan proses belajar mengajar dalam bingkai silabus atau kurikulum agar murid dapat mengonsumsi ilmu pengetahuan sekenyang-kenyangnya dalam ruang belajar yang terikat. Begitu pula pendidikan life skill yang sekadar memberikan ilmu keterampilan dalam balai latihan tertentu yang dirancang dari luar dan sama sekali tidak ada proses kontrak belajar yang lebih partisipatoris dan dialogis.

Gampangnya, wajah pembelajaran yang berkembang selama ini adalah bagaimana anak-anak didik di sekolah dapat dicekoki dengan berbagai knowledge about sebagai persiapan spekulatif anak-anak didik memasuki lapangan kerja (terutama dengan standardisasi atau akreditasi bakal calon buruh kapitalisme global), sementara pendidikan luar sekolah lebih menekankan bagaimana menawarkan berbagai program knowledge for, yang juga spekulatif melalui sertifikasi agar pesertanya dianggap mempunyai kompetensi lebih jelas dalam proses penyerapan pasar kerjadi lingkungan pabrik atau industri.

Dalam kaitan itu, pedagogi harus mengambil tempat pada pengalaman dan kesadaran umat manusia yang luas karena setiap persoalan yang berkaitan dengan hubungan hegemoni pada dasarnya adalah persoalan
pedagogis kemanusiaan. Dalam bahasa Freire, pembicaraan pedagogis tidak boleh semata-mata dipersempit hanya menyangkut soal metodologis sebab cita- citanya lebih jauh menyangkut pemihakan teori ilmu-ilmu sosial untuk mempersiapkan masa depan sejarah yang lebih emansipatoris untuk keadilan, melalui revitalisasi individu maupun kelompok sebagai agen perubahan sejarah itu sendiri. Inilah, sekali
lagi, maka pembelajaran kritis pada dasarnya adalah bagaimana membawa proses pedagogis menjadi lebih berpolitis dan masalah politis mempunyai basis pedagogisnya sebagai kerja budaya dan humanisasi.
Biarpun pedagogi kritis perhatiannya memang terhadap subyek sebagai proses self-improvement, tetapi itu tidak berarti berhenti pada individunya sebab visinya adalah untuk melahirkan kekuatan kolektif bagi transformasi sosial. Jadi, diskursusnya harus menyangkut proyek membangun citizenship sebagai "a social invention" yang membutuhkan sejumlah pengetahuan politik?suatu pengetahuan yang lahir dari pergumulan dan pergulatan hidup orang-orang yang melakukan pembelajaran kritis ini sendiri.
Pengetahuan dan kesadaran semacam itu muncul karena proses pembelajaran "hadap-masalah" terhadap realitas sehari- hari, termasuk bagaimana memahami tantangan material ekonomi, kritik politik-ideologis, dan tekanan-tekanan hidup yang bersifat psikologis. Dengan demikian, bagi orang-orang yang melakukan pembelajaran kritis ini, ilmu pengetahuan yang diperolehnya haruslah sungguh-sungguh berarti (of making knowledge meaningful) agar memberikan spirit hidup baru yang berwatak transformatif.

Pedagogi transformatif boleh dibilang merupakan bagian untuk membangun intelektual publik (as public intelectuals), dalam arti pendidikan bagi orang-orang dewasa yang berorientasi pada basis komunitas (a community base-education). Sudah barang tentu berbeda dengan paradigma pendidikan yang menekankan pentingnya pengembangan "sumber daya manusia (SDM)" sebagai tujuan paling pokok karena orientasinya lebih peduli pada upaya meningkatkan produktivitas ekonomi dan stabilitas sosial (dan menganggap masyarakat sebagai mesin dan orang-orang dipandang sebagai "human resourses" yang nilainya tergantung seberapa jauh kontribusinya dalam the social machinery dalam rangka efisiensi), maka dalam perspektif pembelajaran kritis bukanlah merasa penting menekankan bagaimana melakukan penggolongan (classified), penyortiran (sorted), dan penajaman bakat (shaped), serta kompetensi manusia sebagai the raw
human resources untuk dikirim ke pasar kerja. Namun, yang terpenting adalah bagaimana memfasilitasi agar subyek peserta menjadi individu-individu yang otonom, atau menjadi ownership of self bagi dirinya sendiri.
Oleh karena itu, pedagogi transformatif sesungguhnya secara metodologis tidak lagi berbasis secara eksklusif pada "epistemological questions", tetapi lebih pada "an economic and socio-cultural mode of analysis" yang bisa menerangkan dan membongkar proses alienasi dan marjinalisasi sosial. Dengan demikian, dalam pembelajaran kritis yang diutamakan bukanlah program praktik melek huruf (the practice of a literacy training program), tetapi bagaimana seseorang dapat melakukan refleksi kritis, baik berpikir maupun dalam mengambil praksis untuk pemerdekaan. Refleksi atas self-reflection inilah yang oleh Freire dikatakan sebagai basis setiap orang menuju dunia baru, dengan knowing menuju proses becoming, bagian dari human being yang otentik yang sering lemah dan hilang karena tertutup beban struktural dan kesadaran palsu. Namun, sekali lagi, keseluruhan bangunan pedagogis transformatif yang dialogis, hadap-masalah, dan menekankan praksis kemanusiaan haruslah diletakkan tetap dalam suatu utopian yang bersifat pemerdekaan dan kesetaraan sesuai dengan panggilan ontologisnya sebagai khalifatu fi al-ardh.

Memihak "mustadzafin"
Saya melihat proses marjinalisasi sosial semakin melahirkan berbagai jenis the new mustadzafin, yakni ragamnya komunitas orang-orang pinggiran. Tidak hanya kaum miskin dan fakir, tetapi juga anak-anak
jalanan, kaum buruh, dan TKI yang nasibnya tak terlindungi dan berisiko tinggi. Bahkan dalam kelompok yang disebut "kaum pinggiran" ini, banyak komunitas petani di pedesaan seperti penderes gula aren dan siwalan yang merupakan "orang-orang nomad lokal", yang setiap pagi pergi dengan seluruh anggota keluarganya (termasuk binatang pemeliharaannya) meninggalkan desanya dan pulang menjelang matahari
terbenam. Mereka seharian berada di sekitar ladang aren dan siwalannya, termasuk anak-anak yang sebenarnya masih dalam usia sekolah.

Begitu pula, kita memiliki kelompok suku-suku bangsa, seperti Badui, Tengger, Sakai, dan banyak lagi, seolah-olah mereka adalah bangsa yang "ditinggalkan", baik oleh negara maupun oleh proses modernisasi.
Sudah barang tentu, dalam paradigma humanisme modern dan dalam filosofi pendidikan liberal mereka dianggap obyek yang harus di-"majukan" dan bukan diberi ruang politik bagaimana agar dapat ikut serta dalam proses multikulturalime dan dialog peradaban yang hidup bersama dalam negara bangsa yang modern.
Masih banyak dan panjang deskripsi yang bisa dibuat untuk mengenali siapa kaum pinggiran ini, tetapi saya kira langkah dan rintisan pedagogis buat mereka, sejauh ini masih miskin sekali. Bahkan yang lebih tragis, semua pencarian pedagogis yang pernah lahir di Indonesia, seperti Taman Siswa, Muhammadiyah, pesantren, Kayu Tanam di Sumatera, kini redup dan hilang disapu oleh ganasnya sistem sekolah yang dipaksakan negara demi ikut serta dalam menyokong pertumbuhan ekonomi kapitalisme global.

Akan tetapi, apa hendak dikata, hasilnya kini "sekolah" boleh dibilang telah gagal mengantarkan anak-anak didik mengambil peran sosialnya, juga gagal masuk ke dalam bursa lapangan kerja di sektor modern dan juga gagal menjadi produsen ilmu yang diterimanya dengan paksa di ruang-ruang kelasnya.
Maka, saya kira, saatnya kita semua harus lebih serius bekerja sama untuk mengembangkan konsep dan model praksis "pedagogi kaum pinggiran" ini, dengan menggabungkan semua perspektif humanisme,
apakah yang berasal dari teologi, kritik-ideologi, atau dari tradisi pemikiran sosial emansipatoris sehingga kaum pinggiran memiliki penjelasannya sendiri mengapa mereka terpinggirkan dan dengan praksis apa mereka mempunyai harapan untuk memberdayakan diri dan kelompoknya.
Jika tidak, saya khawatir tetap saja orang miskin akan tetap miskin, paling kurang dalam tiga hal, yakni miskinnya rasionalisasi makna hidup tentang siapa dia, miskinnya kesadaran kolektif, dan miskinnya institusi, baik politik, sosial, dan agama, yang dapat digunakan sebagai kekuatan mereka sendiri untuk melakukan transformasi sosial.


KIAT-KIAT MEMBANTU ADIK DALAM MATEMATIKA

Suatu bilangan dapat dibagi 2 apabila genap, yaitu angka yang berakhir 0, 2, 4, 6, 8


Suatu bilangan dapat dibagi 2 apabila genap, yaitu angka yang berakhir 0, 2, 4, 6, 8. Suatu bilangan dapat dibagi 3 apabila jumlah angka-angkanya dapat dibagi 3. Contoh : 282, jumlah angkanya adalah 2+8+2 = 12, jadi bilangan itu habis dibagi 3.
Suatu bilangan dapat dibagi 4 apabila dua angka terakhirnya 0 atau apabila dua angka terakhirnya dapat dibagi 4. Contoh : 2000 dapat dibagi 4 yaitu 500 : 3948 dapat dibagi 4 yaitu 987. Suatu bilangan dapat dibagi 5 apabila angka satuannya adalah 0 atau 5. Contoh : 110,575.
Suatu bilangan dapat dibagi 6 jika bilangan itu genap dan jumlah angka-angkanya dapat dibagi 3. Contoh : 36 adalah genap dan 3+6 = 9 dapat dibagi 3, begitu pula bilangan 282 dapat dibagi 6, karena genap dan 2+8+2 = 12 dapat dibagi 3.
Suatu bilangan dapat dibagi 9 jika jumlah angkanya dapat dibagi 9. Contoh : 243 dapat dibagi 9, karena 2+4+3 = 9 adalah dapat dibagi 9. Suatu bilangan dapat dibagi 10 apabila angka satuannya adalah 0. Contoh : 10, 110, 2350
Contoh-Contoh :
1. 5647380, dapat dibagi 2 ; dapat dibagi 3; dapat dibagi 4; dapat dibagi 5; dapat dibagi 6; tetapi tidak dapat dibagi 9.
2. 123456, dapat dibagi 2; dapat dibagi 3; dapat dibagi 4; tidak dapat dibagi 5; dapat dibagi 6; dan tidak dapat dibagi 9.
3. 342553, tidak dapat dibagi 2; tidak dapat dibagi 3; tidak dapat dibagi 4; tidak dapat dibagi 5; dan tidak dapat dibagi 6; dan tidak dapat dibagi 9.
4. Perhatikan bilangan 3425648, bilangan ini juga dapat dibagi 8 bukan ?, mengapa ? karena bilangan itu dapat dibagi 2 dan 4. Jadi suatu bilangan dapat dibagi 8 apabila bilangan itu berakhir dengan 0, 2, 4, 6, 8 dan dua angka berakhir dari bilangan itu 0 atau dapat dibagi 4. Coba adik-adik selidiki.
5. Apa ciri bilangan yang habis dibagi 7 ? Apakah bilangan itu berakhir 7 ? Ternyata tidak selalu, karena 17,37 dan lainnya dapat dibagi 7. Silahkan adik-adik gali.
Selamat belajar.


BUTA AKSARA DI INDONESIA


Penyandang buta aksara di Indonesia diharapkan maksimal tersisa 7 juta pada 2009, dari saat ini 13 juta orang. "Kita komit mencapai target tersebut, bahkan kita menginginkan lebih cepat lagi,"



Penyandang buta aksara di Indonesia diharapkan maksimal tersisa 7 juta pada 2009, dari saat ini 13 juta orang. "Kita komit mencapai target tersebut, bahkan kita menginginkan lebih cepat lagi," kata Ace Suryadi, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Depdiknas usai membuka Rakor Pelaksanaan Program dan Kebijakan Dirjen PLS 2007 wilayah Timur.Menurut Ace yang didampingi Zaini Arony Sesditjen PLS, tingkat pencapaian pemberantasan buta aksara secara nasional cukup bagus. Jika pada 2004 masih tercatat 15,4 juta orang, pada 2005 turun jadi 14,6 orang dan pada 2006 ini kurang dari 13 juta.Dengan target pencapaian 1,6 juta per tahun praktis diharapkan pada 2009 nanti tersisa lebih kurang 7 juta. Maka pada 2015 nanti buta aksara di Indonesia menjadi nol porsen, sementara buta aksara dunia sebanyak 771 juta yang diharapkan berkurang setengah pada 2009 mendatang.Sejumlah provinsi dengan tingkat penyandang buta aksara cukup tinggi di antaranya, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Irian Jaya.Menurut Ace peran PLS ke depan harus lebih bermutu dan memiliki daya saing tinggi. "PLS ke depan akan menuju, membangun pendidikan definisi pemerintah tetapi dalam definisi masyarakat."Sementara itu menurut Zaini Arony, Diknas berencana menambah sejumlah lembaga baru Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BPPLSP) yakni di Mataram, NTB, untuk BPPLSP Regional VII, BPPLSP di Kalimantan Selatan Regional VIII dan BPPLSP regional VI di Papua."Ini bentuk revitaliasi kelembagaan untuk antisipasi upaya peningkatan mutu," katanya.BPPLSP ini merupakan suatu lembaga yang melakukan pembinaan terhadap Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB), Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) dan lembaga-lembaga lainnya yang melaksanankan pendidikan nonformal di tengah masyarakat.

 




© 2007 Artikel dan Makalah | Design by Den Bagus | Template by : Yuliana, S.Pd.